-->

Buah Ketulusan

Masuklah di pesantren dik !!',”  pinta  kakak untuk kesekian kalinya. “Insya Allah, kamu akan lebih baik dan sukses kedepannya, kamu tau kan dulu kakak juga masuk pesantren, dan pesantren adalah tempat yang pas untukmu, pesantren  tempat yang cocok untukmu.!” Terang kak Irul.begitulah sapaanku dan para tetanggaku, nama lengkapnya Khoirul Anam. ini sudah permintaan kesekian kalinya agar diriku masuk pesantren sekaligus meneruskan pendidikan di pesantren. Aku hanya menunduk dan tak berani menatap wajah kakak, tak sanggup aku melihat wajah teduh yang selalu baik menuruti setiap kemauanku sejak aku masih berada di bangku dasar,lebih tepatnya saat ibu menghembuskan nafas terakhirnya, beliau berpesan kepada kakak agar selalu menjagaku dan menjadikanku manusia seutuhnya, pasti jika aku menolak permintaannya, kakak akan merasa gagal melaksanakan amanah yang diberikan oleh almarhumah ibu. Aku tak ingin membuat kakak kecewa untuk sekian kalinya setelah apa yang telah diberikannya kepadaku,kebahagian. Kakak selalu ada untukku, seorang  kakak yang sekaligus menyandang gelar seorang ibu.


 Baru kali ini aku berat untuk tidak mengiyakan permintaan kakak.“Tapi aku ingin melanjutkan ke sekolah negeri kak, aku…” tak sanggup aku melanjutkannya. Kakak mengelus kepalaku dan memelukku. “Iya, kakak paham, tapi kakak mohon satu kali ini saja, sebelum ibu tiada ia berpesan agar kamu juga masuk pesantren sama seperti kakak. Kakak  ingin melihatmu sukses dan bisa membahagiakan ibu di akhirat nanti, menjadi seorang anak yang bisa ibu banggakan ,” suara kakak mulai parau. Kurasakan setitik embun air mata jatuh dari wajah kakak untuk sekian kalinya, aku juga ingin menangis namun kubendung, jika mengingat tentang ibu kakak selalu meneteskan air mata, betapa tidak ibu yang memperjuangkan kakak untuk terus melanjutkan sekolah hingga menjadi seorang dokter,bapak sendiri sudah meninggal saat aku masih berada dalam kandungan, kakak yang menceritakannya kepadaku. Baru kali ini aku berat untuk tidak mengiyakan permintaan kakak.“Tapi aku ingin melanjutkan ke sekolah negeri kak, aku…” tak sanggup aku melanjutkannya. Kakak mengelus kepalaku dan memelukku. “Iya, kakak paham, tapi kakak mohon satu kali ini saja, sebelum ibu tiada ia berpesan agar kamu juga masuk pesantren sama seperti kakak. Kakak  ingin melihatmu sukses dan bisa membahagiakan ibu di akhirat nanti, menjadi seorang anak yang bisa ibu banggakan ,” suara kakak mulai parau. Kurasakan setitik embun air mata jatuh dari wajah kakak untuk sekian kalinya, aku juga ingin menangis namun kubendung, jika mengingat tentang ibu kakak selalu meneteskan air mata, betapa tidak ibu yang memperjuangkan kakak untuk terus melanjutkan sekolah hingga menjadi seorang dokter,bapak sendiri sudah meninggal saat aku masih berada dalam kandungan, kakak yang menceritakannya kepadaku.
 “kakak sudah membuktikan dan bisa kamu lihat sekarang hasilnya, kakak yakin dengan doa orang tua dik! Papar kakak lebih jauh . “ kakak yakin disana nanti kamu bakalan sukses dan lebih pintar lagi, kamu akan menemukan sahabat-sahabat yang baik.” Lanjut kakak, aku hanya termenung sambil meresapi kata kata kak Irul yang penuh arti. Tangan kak Irul masih memegang kepalaku sambil tangan kirinya mengusap tetesan air mata yang jatuh dengan lembut dipipinya. “ menurut penilaian kakak, di pesantren kamu akan belajar banyak hal, mulai dari  kemandirian, kasih sayang dan juga persahabatan, yang terpenting kamu lebih kaya akan ilmu agama,keimanan dan cinta akan kebaikan” Nasehat kak Irul yang terus membujukku agar aku mengikuti keinginannya dan keinginan kedua orang tuaku.
“Tapi bagaimana dengan sekolah negeri kak? aku ingin sekolah di negeri bersama teman-teman?” sengit diriku yang tak mau kalah. “kakak tahu kamu ingin sekolah di negeri tapi sekolah negeri tidak menjamin bisa membahagiakan orang tua kita dik, itu belum pasti,” kali ini kakak membuatku tak bisa berkata lagi.  “Kamu tak perlu takut. Insya Allah pesantren adalah tempat yang cocok buat dunia dan akhiratmu. Kakak jamin itu,” tegasnya. “Beri aku waktu setidaknya satu minggu kak. Aku ingin memikirkannya lagi.” Aku tidak mampu lagi menjawab. Ah, ayah, ibu dan kakak,
seandainya mereka tahu betapa dalam perasaanku  untuk sekolah di negeri, karena sekolah di negeri kelihatannya seru. Sekolah negeri yang aku kenal, sejak sekolah dasar sampai smp, sekolah negeri yang aku inginkan. Kata teman-teman sekolah negeri itu pendidikannya lebih terjamin dan kedengarannya kalau sekolah di negeri itu “wooooowww”.  Meski aku belum pernah merasakan sekolah SMA di negeri setidaknya SMP adalah sekolah yang mengasikkan sehingga masa-masa SMA juga ingin aku rasakan, penilaianku tentang belajar di swasta kurang mengasikkan apalagi masuk pesantren“ ah tak enak gak bisa bebas ngelakuin hal.
” Aku bisa menggambarkan hidup di pesantren  hanya melihat dari teman-temanku yang saat ini  meneruskan di lembaga pesantren.Setelah kakak melepaskan tangannya dari kepalaku aku memilih meninggalkan kakak dengan rasa kesedihannya, hanya suara tv yang menemaninya. Di dalam rumahku kami hanya tinggal berdua, aku dan kak Irul. kak Irul yang mengurus semuanya mulai dari menjaga dan membersihkan rumah serta mencari nafkah, masakpun ia juga mengerjakannya, aku sendiri hanya ikut bantu-bantu jika kakak menginginkannya, biasanya kakak selalu menyuruhku untuk belajar dan belajar, kakak masih belum menikah alasannya sih karena ingin melihatku sukses dulu sebelum ia meninggalkanku dengan istrinya kelak, maka dari itu kakak selalu memberikan nasihat kepadaku, ia tak ingin melihatku gagal. Satu minggu berlalu sejak aku dinyatakan lulus di SMP dan sejak permintaan kakak agar diriku  meneruskan di pesantren,
  aku masih bingung dengan pilihan yang menimpaku, pilihan yang membuatku bingung, pilihan ini seperti buah simalakama, mengikuti kakak aku harus mengubur kemauanku sendiri, jika mengikuti kenginanku maka aku tak dapat membayangkan betapa kecewanya ayah, ibu dan kakak. Aku tak dapat melakukan apa-apa selain mengikuti perkataan mereka.
    Pagi-pagi sekali aku menemui kakak dikamarnya, aku membuka pintu tanpa salam dan ketukan karena sudah terbiasa apalagi pintu kamar kakak terbuka sedikit, saat tepat berada dimulut pintu aku menemui kakak yang sedang hikmat mengaji surah Waqi'ah tampaknya kakak baru selesai sholat dhuha, aku memilih duduk di tempat tidur sambil menikmati suara kakak yang mengaji, Tanpa kusadari aku kagum dan bangga punya kakak seperti kak Irul, aku melihat kedinding disana terdapat dua orang tua yang duduk bersama, mereka adalah orang yang berjasa dalam hidupku, kedua orang tuaku, dalam batinku mungkin mereka bangga punya anak seperti kak Irul.
    Dalam benak aku berdoa seperti yang pernah kakak ajarkan kepadaku sambil melihat kedua foto yang terpajang di dinding kamar kakak “ Robbi igfirli dzunubi waliwalidayya warham huma kamaa rabbayaa nii sogiraa amin”.
 “ada apa dik?” suara kak Irul mengagetkanku.
“eh kak sudah selesai?” aku bertanya sekenanya agar kak Irul tak mengenali apa yang kurasakan. “ iya ” jawab kak Irul sambil mengangguk.
 “ o iya kak nanti sore kita berangkat ke pesantren, aku sudah putuskan untuk menjadi santri dan meneruskan di lembaga pesantren” jelasku kepada kak Irul yang langsung menyambutku dengan pelukan hangat, kak Irul tak mengeluarkan kata-kata lagi, fikirku mungkin kakak sangat sangat senang dengan pernyataanku.
 “nanti sore kita langsung berangkat kak”. ajak diriku yang membuat kak Irul lebih terkejut. “ah beneran apa yang kakak dengar dik?” kak Irul seolah tak percaya dengan apa yang didengarnya
“beneran kak, malah pagi ini aku dan Faris mau mendaftar melanjutkan di pesantren “ tuturku lebih jauh yang semakin melambungkan kebahagiaan kak Irul..sebenarnya sangat berat aku mengatakan seperti itu. Setelah Ayah dan Ibu menghadap Ilahi ketika aku berusia masih kecil, hanya aku yang menjadi kebanggaan Adik semata wayangnya. Aku tidak sanggup melihat wajah kecewa kakak saat keluar kalimat penolakan dari mulutku.
    Aku tidak sanggup melihat kedua orang tuaku menyesal karena mempunyai anak sepertiku. Dalam hati aku berdoa “sami'na wa atoqna. Semoga Engkau meridhai jalan yang aku pilih ya Allah, bukankah ridha Allah itu ridha orangtua?”. Kesibukan pun langsung melanda rumah mungil peninggalan Ayah dan Ibu. Kakak sibuk mempersiapkan segala sesuatunya, mulai dari menata bajuku dan peralatan yang biasa di bawah ke pesantren. Tak menunggu waktu lama bagi kakak untuk mengajakku  ke toko baju untuk membeli sarung dan baju taqwa.
    “pilihlah sendiri yang kamu sukai”. ujarnya penuh semangat saat tiba di toko baju. Gembira rasanya bisa membuat orang-orang terdekat kita senang. “ ayah dan ibu juga senang di sana kan dengan apa yang aku lakuakan saat ini?” batinku.Tapi hati ini masih  sedikit terbesit keraguan karena aku yang sama sekali tidak mengerti tentang kehidupan di pesantren dan tak tau apa yang harus diperbuat, aku hanya pasrah dengan keadaan, inilah takdir hidupku Allah sudah menuliskan ini semua kepadaku, aku sangat yakin ada hikmah di balik ini semua.“ Allahu Akbar..Allahu Akbar..” suara azan asar sudah saling bersahut-sahutan menggema di seluruh desaku, suara azan itu menggetarkan hatiku pertanda aku akan menjalani kehidupan baru dengan segala kemandirian. Itulah pelajaran pertama hidupku saat menit-menit menjelang keberangkatan ke pesantren. Setelah berjemaah sholat asar dengan kak Irul, akupun disuruh pamitan kesemua saudara dan tetanggapun tak luput aku salami,meminta maaf dan mengaharapkan secercah doa agar tenang mencari ilmu di desa orang,  gerbang pesantren menyapaku dengan kebisuannya, menyambutku dengan tulisan
  “ Ahlan Waa Sahlan Al ma'had  Al-Falaq” begitulah kira-kira bunyi tulisan yang di bentuk tulisan kaligrafi, hatiku berdebar-debar saat masuk lingkungan pesantren, ada perasaan was-was dan bimbang, tak kusangka aku akan menjadi seorang santri. Saat aku dan kakak matur ke kyai dan nyai aku langusng di ajak ke pondok yang tampak begitu rapi dan bersih, “ inikah kehidupan di pesantren?” hatiku berbicara, tampak semua santri berlomba-lomba menjaga kebersihan di tiap-tiap halaman pondok, kakak dan aku masuk ke dalam pondok yang menghadap ke timur, di dalamnya terdapat banyak foto kyai dan ulama-ulama sohor lainnya, kaligrafi dan serta tulisan motifasi juga menghiasi ruangan itu, lemari-lemari yang tersusun rapi dan diatasnya berjejer kitab-kitab besar yang semakin membuat ruangan itu indah penuh nuansa islami, untuk sekian kalinya aku dibuat kagum oleh kehidupan pesantren.
 “ dik disinilah pondokmu, kamu akan belajar langsung ke ustad Hasan” kakak menjelaskan dan memperkenalkan seseorang yang kakak tadi menyebutnya dengan kata ustad, aku langsung mengambil tangannya untuk kucium. Ustad itu hanya tersenyum dan banyak cerita ini itu, mendengar cerita mereka berdua tampaknya ustad itu adalah sahabatnya kakak sewaktu masih berada dipesantren. Saat dirasa cukup kakak memberiku uang saku dan beberapa nasihat,kakak meminta diri untuk pulang dan meminta bantuan ustad Hasanuntuk menjagaku selama berada di pesantren kakak juga berpesan agar aku selalu mengingat orang tua disetiap sujud dan doa, dan yang membuatku meneteskan air mata saat kakak memberikan foto kecli ukuran persegi yang terlukis wajah yang amat aku sayangi dan aku rindukan keberadaanya, ayah dan ibu, “ jika kamu merasa kesepian lihatlah foto ini dan pejamkan mata, lalu kamu ingat orang-orang yang ada di foto ini, insya Allah mereka akan hadir dan memelukmu dengan hangat” nasihat kak Irul sambil memelukku dan meneruskan nasihatnya dengan berbisik di telinga kananku.
“ baik-baik ya dik di pesantren” sekuat tenaga kakak menahan air matanya jatuh sedangkan diriku tak tertahankan untuk tidak menangis. “ assalamualaikum “ kakak melangkah pergi menjauh dariku,  aku sangat sedih kehilangan kasih seorang kakak untuk sementara waktu ini, namun disisi lain aku bahagia memiliki kakak seperti kak Irul, ustad Hasan menyuruhku masuk kedalam pondok dan memberikan pengetahuan tentang cara hdiup di pesantren, apa yang harus dilkukan dan dengan siapa harus berteman. Dan bagimana seharusnya menjadi seorang santri.Sore itu setelah selesai mengaji, aku membuka lemari dan melihat foto mereka bertiga, ayah ibu dan  kakak yang selalu menyuntik semangat berada di pesantren, hampir satu tahun sejak aku masuk pesantren ada banyak hal yang telah aku dapat, ada sejuta rasa yang telah menyentuh hatiku, semua rumor yang kudengar dari teman-teman tentang hidup di pesantren ternyata semuanya salah, semuanya berbanding terbalik dengan apa yang mereka ucapkan  katanya hidup di pesantren sendirian dan tak punya apa-apa, semua serba kekurangan dan banyak  berita miring lainnya tentang pesantren tapi bagiku itu semua membentuk pribadi yang lebih indah, mandiri dan islamic yang bisa membuat hidup jadi lebih hidup. setengah tahun lebih aku menjadi santri sudah banyak hal yang aku ketahui, aku mengenal cinta Allah SWT tuhan alam semesta, aku mengenal kasih sayang, dan persahabatan, sekarang aku tau hidup di pesantren sangatlah menyenangkan dan aku percaya inilah takdirku, orang tua tau apa yang terbaik untuk anaknya, dan sekarang aku mencintai pesantren , pesantren Al-Falaq terima kasih sudah menerimaku, memberiku yang terbaik, trimaksih yaa Allah, trimakasih ayah ibu dan untukmu kakak, terima kasih karena kasihmu sekarang aku mengerti arti kehidupan, aku akan menjadi seperti apa yang ayah dan umi mau, dan menjadi adik kebanggaanmu, aku mencium foto dan memeluknya sambil memejamkan mata berharap mereka hadir dalam sela-sela mimpiku “ bismika allahummah ahya waa bismika amut.
Sulton Arifin; pernah diterbitkan di majalah al badri

0 Response to "Buah Ketulusan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel